Senin, 05 Mei 2014

Ketika si Miskin Sakit di Negeri yang Sakit

- 0 komentar

13967757732128450170
Sumenep- Lihat Wajahnya, matanya terlihat cekung tatapannya kosong. Lihat badannya, hanya tinggal daging pembungkus tulang. Tak ada lagi sisa senyum di wajahnya, yang ada hanya rintihan kesedihan dan kepasrahan. Dialah Juma’asi warga Desa Pinggirpapas Kecamatan Kalianget Kabupaten Sumenep pemegang “Kartu Perlindungan Sosial” . Tubuhnya terbaring lemah tak berdaya akibat penyakit komplikasi yang di deritanya. Penyakit yang menggerogotinya selama bertahun-tahun telah membuat segalanya menjadi kelabu. Juma’asi sempat dirawat selama 4 hari di RSUD Dr.Moh. Anwar Sumenep. Juma’asi menderita Gagal Ginjal, Kencing Manis, dan entah apalagi, yang jelas dokter RSUD Moh. Anwar mengatakan bahwa penyakit wanita miskin ini komplikasi dan sudah kronis. Pihak RSUD Sumenep sudah menyarankan agar Juma’asi dirujuk ke Surabaya untuk menjalani cuci darah. Namun apa daya pihak keluarga terpaksa membawa pulang karena alasan ketidak tahuan dan alasan ekonomi. Saat ini, dirumah kecil dan kamar yang sempit keluarga ini hanya bisa pasrah dan menunggu detik-detik Sang Malaikat maut menjemput Juma’asi.
“Apa yang bisa kami lakukan..??, kami hanya bisa pasrah” begitu ungkap Bahrabi, suami Juma’asi yang sejak lama juga menderita penyakit lumpuh. Sejak beberapa tahun yang lalu kehidupan keluarga ini memang sungguh memilukan.
Sebelum Juma’asi menderita sakit, suaminya sudah menderita kelumpuhan. Suaminya berjalan menggunakan tongkat dan seringkali terjatuh. Pasangan ini dikaruniai delapan orang anak. Enam anak sudah berkeluarga, tinggal dua anak lelaki dan seorang anak perempuannya yang baru saja bercerai dengan suaminya. Namun mereka juga tidak punya pekerjaan tetap, hanya ketika musim kemarau mereka bekerja menggarap lahan garam milik orang lain. Sementara ketika musim penghujan mereka tidak bekerja. Praktis beban hidup keluarga ini sangat berat, untuk makan saja mereka mengandalkan dan menunggu pemberian anak-anak mereka yang sudah berkeluarga. Sementara anak-anak mereka yang berkeluarga juga bekerja seadanya hanya cukup untuk makan saja.
“Sejujurnya, untuk makan saja kami merasa malu pada menantu kami” ujar Bahrabi sambil matanya berkaca-kaca, “Sekarang ini nasib istri saya sudah sepenuhnya saya serahkan kepada Tuhan,Sirin Allah Tulung Allah (semua dipasrahkan kepada Allah)
Bahrabi juga mengungkapkan bahwa selama istrinya sakit sebetulnya membutuhkan minimal 4 popok dalam sehari. Harga satu popok Rp.3.000 yang berarti dalam sehari minimal butuh Rp.12.000, namun kerena tak memiliki apapun hal itu hanya dilakukan selama beberapa hari sejak istrinya tak bisa beranjak dari tempat tidur. Saat ini keluarga mengganti popok Juma’asi dengan kain bekas. Dan ini menyebabkan kamar tempat ia berbaring dipenuhi dengan aroma yang kurang sedap.
13967759501609342836
Disisi lain yang tak kalah mengenaskan adalah nasib Bahrabi, Suami Juma’asi ini tidak berani makan dan minum sesuka hati, dia harus rela menahan lapar dan haus, karena takut jika banyak makan dan minum dia akan sering ke kamar kecil. Dan sekedar tambahan informasi keluarga ini tidak memiliki WC dirumahnya. Sehingga untuk buang air besar Bahrabi harus berjalan sejauh + 100 meter dari rumahnya untuk mencapai WC sungai sambil berjalan menggunakan tongkat dan sesekali terjatuh.
Bahrabi dan istrinya tetap berharap semoga Tuhan memberi keajaiban dan orang atau pihak yang peduli akan nasib mereka.Sungguh memilukan dan menyayat hati nasib keluarga ini, kemana lagi mereka mengadu.
Kisah sedih Juma’asi mungkin hanya satu dari beberapa kisah di negeri ini. Negeri ini konon kaya dengan sumberdaya alam, tapi mengapa rakyatnya sengsara, dimana pemimpin mereka..??? dimana wakil mereka..??? . Negeri ini memang besar, negeri ini memang kaya, namun negeri dan pemimpin negeri ini juga sedang sakit.
[Continue reading...]

Pinggir Papas Desa Budaya, Kaya Potensi Garam

- 0 komentar
rubrik profil desa potensi garam
Seperti yang telah disebut, bahwa asal-muasal garam tak bisa dipisahkan dari Desa Pinggirpapas. Kejadiannya bermula dari serangan Kerajaan Bali terhadap Keraton Sumenep yang pada waktu itu diperintah oleh raja kembar, yakni Pangeran Lor dan Pangeran Wetan. Keduanya merupakan putra dari Tumenggung Kanduruhan, Adipati Sumenep yang memerintah sejak tahun 1559-1562 menggantikan Raden Ario Wonoboyo atau Pangeran Seding Puri, cucu menantu Jokotole. Sedangkan Tumenggung Kanduruhan ini adalah putra Raden Fatah atau Sultan Abdul Fattah, Sultan Demak pertama.
Dalam buku Babad Sumenep karya Musaid atau Raden Werdisastra, serangan tersebut terjadi di kurun pertengahan abad keenam belas, sekitar tahun 1560-an. Saat itu serangan pertama Bali berhasil menggoyang pertahanan pasukan Sumenep, bahkan Raja Sumenep sendiri Pangeran Lor terluka parah hingga menghembuskan nafas terakhirnya.
Sementara adiknya Pangeran Wetan yang waktu itu berkunjung Demak langsung kembali ke Sumenep ketika mendengar kabar tersebut. Dengan dibantu mertuanya Raja Pamekasan sekaligus Sampang, yakni Pangeran Bonorogo atau Kanjeng Kiyai Adipati Pramono, Pangeran Wetan berhasil meluluhlantakkan pasukan Bali, sekaligus menghabisi nyawa Raja Bali dan seluruh keluarganya, serta pembesar-pembesar lainnya.
Nah, sisa-sisa pasukan Bali yang kalah tersebut setelah diampuni menyingkir ke arah timur. Sebagian kecil menyingkir ke Desa Karangpanasan dan menetap di kampung Bhilla’an, dan sebagian besar menyingkir ke Desa Pinggirpapas. Di Desa Pinggirpapas ini mereka dijamin setia kepada Sumenep oleh seorang tokoh atau ‘ulama pendatang bernama Pangeran Anggasuta atau Syekh Onggosuto.
Menurut cerita, ia mendapat hibah tanah dari Pangeran Lor, Raja Sumenep, yakni Desa Pinggirpapas dan sekitarnya. Mengenai asal-usul Syekh Onggosuto banyak versi. Salah satu versi menyebutkan bahwa ia adalah saudara Pangeran Ujung Pangkah, Gresik. Pangeran Ujung Pangkah ini adalah putra Sunan Kulon atau Sunan Ali Sumodiro, Giri. Sedangkan Sunan Kulon adalah putra Sunan Giri (Ainul Yaqin), Gresik. Jika demikian Pangeran Onggosuto bersaudara juga dengan Nyai Gede Kedatun (ibunda Sunan Cendana Kwanyar, Bangkalan) dan Sunan Prapen (Sunan Giri II).
Terlepas dari berbagai versi tentang asal-usul Syekh Onggosuto, yang jelas ia merupakan orang berpengaruh sehingga bisa memberi jaminan kepada Raja Sumenep. Tak hanya itu, melalui beliau, pasukan Bali tersebut dikenalkan pada agama Islam dan berlanjut menjadi penganutnya. Setelah mendapat jaminan, seiring waktu pasukan Bali itu merasa resah. Pasalnya mereka tak punya keterampilan kecuali berperang, sehingga mereka pun kesulitan mendapatkan mata pencaharian.
Berdasarkan cerita tutur masyarakat setempat, akhirnya mereka menemui Onggosuto untuk memecahkan masalahnya. Oleh Onggosuto mereka disuruh menunggu, karena sang Syekh akan melakukan istikharah. Menurut petunjuk, Onggosuto diceritakan disuruh berjalan menuju pesisir pantai. Karena tanah di pantai bersifat lembek, maka jejak-jejak telapak Onggosuto terbentuk jelas. Jejak-jejak tersebut kemudian diisi air laut.
Beberapa hari kemudian, Onggosuto kembali mendapat petunjuk agar mendatangi pantai yang mencetak jejak-jejak kakinya. Nah, ketika sampai di sana, Onggosuto mendapati bekas tapak kakinya dipenuhi benda berwarna putih, yang selanjutnya dinamainya Buja (yang artinya, garam).
Onggosuto pun kemudian mendapat petunjuk juga mengenai cara mengolah garam yang kemudian diajarkannya pada penduduk atau para prajurit Bali. Mulai dari cara memetak tanah untuk ladang garam, dan juga cara memindah-mindah air laut. Singkat cerita, berita penemuan garam itu pun tersebar ke seluruh penjuru daerah, yang hingga kini masyarakat bisa memetik buah dari peninggalan Onggosuto itu.

Budaya Nyadar
Konon setelah usaha garam itu menunjukkan hasil bagi penduduk Pinggirpapas, Onggosuto memberi wejangan agar manusia tidak lupa pada Sang Pemberi rejeki. Oleh karena itu kemudian Onggosuto bernadzar pada tanggal dan bulan panas matahari (musim kemarau) akan melakukan upacara syukur tersebut yang dinamainya nyadhar.
Pada tahun berikutnya adik Onggosuto yang bernama Syekh Kabasa juga bernadzar serupa, dan itulah yang dikenal dengan upacara nyadhar kedua. Setelah itu dilakukan nyadahar ketiga yang merupakan nadzar dari Syekh Dukun, salah satu murid dan pembantu Pangeran Onggosuto yang kabarnya berasal dari Banten.
Tata cara nyadhar seperti yang diajarkan Onggosuto sangat bernuansa Islami. Seperti syarat bahwa nyadhar tidak boleh dilakukan sebelum tanggal 12 Rabi’ul Awwal atau hari Maulid Nabi Muhammad SAW. Syarat lain, bahwa selamatan nyadhar tidak boleh melebihi besarnya selamat Maulid Rasul. Di samping itu juga ada syarat bahwa peserta nyadhar terlebih dulu diwajibkan untuk merayakan Maulid Nabi SAW sebelum merayakan nyadhar.
Dewasa ini perayaan nyadhar berpusat di kompleks makam Pangeran Onggosuto, di Dusun Kolla, Desa Kebundadap Barat, Kecamatan Saronggi. Kompleks makam tersebut dikenal dengan sebutan Bhuju’ Ghubang. Di sanalah makam Pangeran Onggosuto, Syekh Kabasa, Syekh Dukun, dan Syekh Bangsa (murid Onggosuto yang lain). Dalam setahun nyadhar dilakukan tiga kali berturut-turut dengan rentang waktu berselang satu bulan.
Namun perlu diketahui, hanya perayaan pertama dan kedua yang bertempat di kawasan makam Pangeran Oggosuto. Sedangkan nyadhar ketiga biasa dilakukan di Desa Pinggirpapas.
Dalam cerita, produksi garam setelah Onggosuto dibawahi langsung oleh Keraton Sumenep, di mana pada waktu itu ditunjuk Manteri Buja (Menteri Garam) dari kalangan keluarga keraton. Salah satu yang tercatat ialah Raden Sindunagoro, Manteri Buja di zaman Kasultanan Sumenep. Tak hanya itu, dalam perkembangannya produksi garam juga mendapat campur tangan pihak kolonial Belanda maupun Inggris.
Pada zaman Bupati Sumenep, Kangjeng Raden Samadikun (pengganti Kangjeng Raden Tumenggung Prabuwinoto), bersama dengan kepala Desa Pinggirpapas waktu itu yakni Sastrowijoyo pada tahun 1936 melakukan perjanjian 50 tahun berbahasa Jawa kuno, yang mewakili petani garam menyerahkan tanah pegaraman kepada Belanda.
Pasca kemerdekaan, berdasar UU tahun 1958 tentang nasionalisasi, tanah dalam perjanjian tersebut menjadi milik negara yang dikelola oleh PT Garam (Persero), yang diperkuat dengan bukti perjanjian berbahasa Belanda yang menyatakan bahwa tanah tersebut telah dibebaskan dengan ganti rugi berupa uang gulden.
Hingga kini persoalan kepemilikan tanah di daerah Pinggir Papas dan sekitarnya masih menjadi polemik yang tak kunjung usai. Pihak perusahaan mengklaim bahwa mereka yang berhak untuk penguasaan tanah pegaraman yang ada. Di sisi lain, para petani garam juga mengklaim sebagai pihak yang berhak atas tanah tersebut.

sumber : http://humaspemkabsumenep.com/2013/10/pinggir-papas-desa-budaya-kaya-potensi-garam/
[Continue reading...]
 
Copyright © . kabar girpapas - Posts · Comments
Theme Template by BTDesigner · Powered by Blogger